Tahun 1998, banyak kemelut terjadi di negeri ini. Mulai dari krisis moneter, hingga demonstrasi rusuh dan penjarahan, pasca lengsernya Pak Harto. Ada yang bernyanyi riang sambil menari ria; ada yang menangis pilu karena putra tercinta tewas ditembus peluru; ada yang berteriak lantang dengan sumpah serapah; ada yang diam-diam bergerilya memanfaat situasi yang tak terkendali, untuk merebut kekuasaan. Semua peristiwa memilukan itu telah berlalu, tapi hingga kini penderitaan rakyat tidak pernah berakhir.
Semakin lama, reformasi yang dulu adalah sebuah “mimpi” indah kini telah menjadi sampah busuk yang tidak lagi dihiraukan oleh mereka yang dulu menari dan bernyanyi lagu reformasi.
Hasil Reformasi
Jika dulu kita bernyanyi lagu “reformasi”, tetapi kita lupa merencanakan “lirik” yang “awet” dan “tahan lama” supaya enak didengar sepanjang masa. Reformasi saat itu dinyanyikan oleh orang-orang pragmatis, yang memanfaatkan momentum reformasi untuk bercinta di toilet-toilet Gedung DPR/MPR, meninggalkan sampah kondom yang berserakan.
Ya… itulah gambaran reformasi itu…
Alih-alih menyumbat keran korupsi, tetapi orang-orang pintar negeri yang sudah ahli memanfaatkan situasi, semakin gesit mencari celah, sehingga keran korupsi bertambah banyak. Otonomi daerah yang bergulir sebagai buah dari reformasi, justru membuka keran-keran korupsi baru di tingkat daerah, dari gubernur sampai ketua RT, masing-masing punya “keran” sendiri-sendiri. Tidak heran kalau anggaran kesejahteraan untuk rakyat miskin yang seharusnya perorang mendapatkan Rp. 1.000.000,- hanya sampai ke mereka Rp. 100.000,-. Itu pun harus membayar biaya administrasi ini dan itu…
Reformasi sekarang tidak lebih dari sekadar sampah busuk. Siapa pun yang menyanyikannya, dia adalah manusia busuk yang tidak tahu diri.
Duniaku Dunia Buku 
Tinggalkan komentar